8. Materi MPLS Pembinaan Mental Agama Di Sekolah
8. Materi MOS Pembinaan Mental Agama Di Sekolah
Pendidikan dimanapun dan kapanpun masih dipercaya orang
sebagai media ampuh untuk membentuk kepribadian anak ke arah kedewasaan.
Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam pendidikan moral dan pembinaan
mental. Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama
karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri dan
penghayatan tinggi tanpa ada unsur paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan
beragama. Karenanya keyakinan itu harus dipupuk dan ditanamkan sedari kecil
sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadian anak sampai ia
dewasa. Melihat dari sini, pendidikan agama di sekolah mendapat beban dan
tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi jika dikaitkan dengan upaya
pembinaan mental remaja. Usia remaja ditandai dengan gejolak kejiwaan yang
berimbas pada perkembangan mental dan pemikiran, emosi, kesadaran sosial,
pertumbuhan moral, sikap dan kecenderungan serta pada akhirnya turut mewarnai
sikap keberagamaan yang dianut (pola ibadah).
Pada usia remaja, ditinjau dari aspek ideas and mental
growth, kekritisan dalam merangkum pemikiran-pemikiran keagamaan mulai muncul,
kekritisan yang dimaksud bisa berupa kejenuhan atau kebosanan dalam mengikuti
uraian-uraian yang disampaikan guru Agama di sekolah apalagi jika metodologi
pengajaran yang disampaikan cenderung monoton dan berbau indoktrinasi. Jadi
mereka telah mulai menampilkan respon ketidak sukaan terhadap materi keagamaan
yang dipaketkan di sekolah. Sebenarnya akar permasalahan yang timbul dari
kekurang senangan remaja terhadap paket materi pelajaran keagamaan di sekolah
terletak pada minimnya motivasi untuk mendalami agama secara lebih intens, yang
lebih sederhana lagi ialah pelajaran agama yang mereka dapat di sekolah kurang
memberikan aplikasi dan solusi praktis dalam keseharian mereka. Apalagi waktu
mereka lebih banyak dihabiskan dengan nonton teve, jalan-jalan ke mall,
ngeceng, pacaran dan hal-hal lain meski banyak juga remaja kita yang melakukan
aktifitas positif seperti remaja mesjid, berwiraswasta atau ikut organisasi
eskul sekolah serta mengikuti kursus-kursus keterampilan.
Jawaban dari permasalahan diatas adalah kembali pada sosok guru agama sebagai
tauladan dan sumber konsentrasi remaja yang menjadi peserta didiknya. Mampukah
ia menjadikan dirinya termasuk masalah materi serta metodologi yang
dipergunakan sebagai referensi utama bagi peserta didiknya yang seluruhnya
remaja itu dalam mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak sekedar merasa
memiliki agama (having religion) melainkan sampai kepada pemahaman agama
sebagai comprehensive commitment dan driving integrating motive, yang mengatur
seluruh kehidupan seseorang dan merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Sehingga nantinya remaja-remaja tersebut merasakan ibadah
sebagai perwujudan sikap keberagamaan intrinsik tersebut sama pentingnya atau
malah lebih penting dibanding nonton teve, jalan-jalan, hura-hura dan lain
sebagainya.
Satu hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan oleh para guru Agama di
sekolah ialah materi pelajaran agama yang disampaikan di sekolah hendaknya
selalu diorientasikan pada kepentingan remaja, seorang guru Agama harus bisa
menanamkan keyakinan bahwa apa-apa yang ia sampaikan bukan demi kepentingan
sekolah (kurikulum) atau kepentingan guru Agama melainkan demi kepentingan
remaja itu sendiri. Karenanya pemahaman akan kondisi objektif kejiwaan remaja
mutlak diperlukan oleh para guru Agama di sekolah. Seorang guru Agama harus
senantiasa dekat dan akrab dengan permasalahan remaja yang menjadi peserta
didiknya agar mampu menyelami sisi kejiwaan mereka. Dan materi pelajaran
agamapun harus terkesan akrab dan kemunikatif, sehingga otomatis sistem
pengajaran yang cenderung monolog (satu arah), indoktriner, terkesan sangar
(karena hanya membicarakan halal haram) harus dihindari, untuk kemudian diganti
dengan sistem pengajaran yang lebih menitik beratkan pada penghayatan dan
kesadaran dari dalam diri. Hal ini mungkin saja dilakukan baik dengan mengajak peserta
didik bersama-sama mengadakan ritual peribadatan (dalam rangka penghayatan
makna ibadah) atau mengajak peserta didik terjun langsung ke dalam kehidupan
masyarakat kecil sehingga mereka bisa mengamati langsung dan turut merasakan
penderitaan yang dialami masyarakat marginal tersebut (sebagai upaya menanamkan
rasa solidaritas sosial). Jadi intinya mereka tidak hanya mendengar atau
mengetahui saja melainkan turut dilibatkan dalam permasalahan yang terdapat
dalam materi pengajaran agama di sekolah.
Namun diatas semua itu yang paling penting adalah
keterpaduan unsur keluarga, lingkungan masyarakat, kebijakan pemerintah
disamping sekolah dalam rangka turut menanamkan semangat beragama yang ideal
(intrinsik) di kalangan para remaja. Karena tanpa kerjasama terkait antar
usur-unsur tersebut mustahil akan tercipta generasi muda (remaja) yang
berkualitas.
Iyaaa
BalasHapus